=Hamimku

Mbok Ida

Posting Komentar
Sebuah Persembahan untuk sebuah Karya,

Mbok Ida….

Sore sepulang sekolah, aku biasa untuk duduk di dekat pohon samping sekolah untuk melepas lelah setelah seharian berkutat dengan pelajaran. Lima menit berlalu, jalanan mulai lenggang. Cuaca yang sangat kondusif mendukungku untuk sedikit memejamkan mata. Akhirnya….
Beberapa waktu kemudian aku terhentak kaget. Kubuka mata segera “ Astagfirulloh , aku tertidur”. Aku hanya bisa termangu melihat ada seorang wanita tua renta dengan baju lusuh dan wajah kumal ada disebelahku. “ Monggo” pamit wanita tua itu padaku. Sambil mengulas sedikit senyum dia berlalu dari hadapanku….


just ilustration.red

Sedikit kaget dan bingung bercampur jadi satu. Seperdetik kemudian aku mulai tersadar. Tanganku segera bergerilya di dalam tas dan kantong untuk memastika apakah hp, uang dan segala bentuk barang berhargaku masih ada di tempat. “ Alhamdulillah “ , desahku melihat apa yang aku cari masih utuh.

Kulangkahkan kaki berjalan pulang. Beberapa meter dari tempat aku tertidur terlihat wanita tua itu sedang sibuk dengan tumpukan sampah. “Entah apa yang dilakukannya” pikirku saat itu. Aku hanya berlalu saja. Namun, saat jarakku semakin mendekatinya. Wanita tua itu sempat menggulung senyum padaku. Aku hanya membalas sekenanya. Toh aku tak mengenalnya. Besok juga sudah lupa. Kususuri jalan untuk bergegas pulang. Mengingat cuaca sudah mulai mendung…

Keesokan harinya, ketika berangkat sekolah aku melihat wanita tua itu. Didekat pagar sekolah aku melihat dia sedang duduk-duduk di tempat aku tertidur kemarin. Ku coba untuk megalihkan perhatian untuk tidak melihatnya. Semakin dekat ke arahnya , tiba-tiba “ Berangkat neng….” sapanya. Untuk kedua kalinya aku hanya mengenyitkan dahi. Hanya seulas senyum yang sekedarnya aku membalas sapaanya. Lalu kulanjutkan perjalannanku.

Disore yang sama aku tertidur kemarin. Lagi-lagi aku melihat wanita tua itu, tapi dengan penampilan yang berbeda. Jika kemarin kulihat dia memakai pakaian compang –camping. Kulihat hari ini dia lebih rapi. Meski tetap dengan peralatan yang sama yaitu kantung plastik hitam yang cukup besar dan sebatang kayu. Yang entah apa isi didalamnya. “ Ah, apa peduliku” desahku dalam hati. Kulalui saja wanita tua itu tanpa aku sapa ataupun sedikitpun mengulum senyum. Namun tiba-tiba…Wanita tua itu berlari mendekatiku. “ Assalamu’alaikum neng” sapanya kepadaku. Untuk sekian detik aku terkaget lagi. Dengan raut muka yang menampakan ketakutan aku hanya bisa berdiri mematung.. Wanita tua itupun semakin mendekat kearahku. “ eh ah ada apa “ ucapku berbata-bata. Wanita tua itu sibuk mencari sesuatu di kantung palstik hitamnya. Dikesempatan ini, aku gunakan untuk lari dari wanita tua itu. Aku lari sekencang-kencangnya. Semakin jauh aku mendengar sayup suara wanita itu memanggilku. Aku terus berlari lari lari hingga tak tampak lagi olehku wanita tua itu. “ Ya Alloh….menyeramkan” gumamku. Kusegerakan untuk pulang.

Keesokan harinya aku meminta ayah untuk mengantarku sekolah . Kuceritakan pengalamanku kemarin sore. Dengan segala alasan yang menguatkan bahwa sekarang sedang marak penculikan anak dibawah umurlah, tindak criminal dsb. Akhirnya ayah mau mengantarku sekolah. Urusan pulang gampanglah bisa bareng teman-teman yang lain.
Untuk beberapa hari aku merasa tenang. Karena merasa aman tak diganggu wanita tua itu lagi.. Sore inipun aku beranikan diri untuk pulang sendiri. Aku mulai mengamati lingkungan yang akan aku lewati. “ Ehmmmm aman” gumamku senang. Sambil bersiul-siul ria aku langkahkan kaki. Dan kebiasaankupun terulang lagi. Aku duduk bangku samping sekolah. Dan akhirnya…
“Neng Eka, neng Eka “ samar-samar terdengar suara laki-laki memanggil namaku.. Kubuka mataku perlahan. “Hah” tersentak kaget aku melihat sudah ada wanita tua dan satpam sekolahku ada dihadapanku. Aku segera berlari dibalik punggung pak satpam. “Pak aku takut sama wanita tua ini” teriakku dengan telunjuk mengarah kepada wanita tua itu. “Pergi..pergi!!!” teriakku mengusir wanita tua itu. Dengan perasaan takut yang sudah tidak bisa digambarkan. Namun tiba-tiba wanita tua itu menyodorkan sebuah kotak berbungkus Koran kearahku. Dengan reflek aku membuang kotak itu dan aku lari sekencang-kencangnya menjauh dari pak satpam serta wanita tua itu pastinya.” Heh heh ….” Nafasku benar-benar tak kuat lagi. Dadaku tiba-tiba sesak. Kepalaku pusing. Aku sudah tidak bisa berfikir lagi. Bayangan wanita tua itu seakan-akan mengejarku. Akhirnya ku berlari dan berlari lagi hingga sampai rumah.

Rengekku semakin memelas untuk minta dibelikan sepeda kepada ayah. Agar aku bisa kabur lebih cepat jika ada yang mengganggu seperti wanita tua yang kemarin. Panjang lebar aku bercerita kejadian yang menimpaku sepulang sekolah. Tapi ayah maupun ibu tidak mendukung ideku itu. Alasannya belum ada uang. Ya aku sadar memang aku bukan dari orang yang berada dan uang berlebih. Mereka menyarankan agar aku tidak terlalu heboh dan berlebihan. Bagaimana tidak heboh.. ini menyeramkan. Ada wanita tua asing dengan pakaian compang- camping, wajah kusam dan kumal, meneneteng tas palstik besar yang lengkap dengan sebatang pohon di tangan kanannya. Saat itu juga aku membayangkan andaikan aku tiba-tiab dicullik. “Hwaaaaa “ teriaku dalam hati. Dengan wajah cemberut. Akhirnya aku membuat kontrak jika aku tidak dibelikan sepeda maka ayah harus siap antar jemput aku pulang. Dan jelas kontrakku ini gagal. Mereka bilang aku tidak dewasalah. Terlalu kekanak-kanakan lah. Ahhhhh menyebalkan….

Dan keesokan harinya , keraguan mulai memasuki. Wajah wanita tua itu menghantuiku. Kulangkahkan kaki untuk pergi sekolah dengan peralatan lengkap untuk keamanan. Seperangkat silet, gunting dan kelereng. Untuk mengatisipasi jika terjadi sesuatu ketika pulang sekolah. Kulangkahkan kaki dengan perasaan was-was. Kulihat daerah sekitar. Jalanan masih ramai . Banyak orang sedang lalu lalang. Ada yang pergi ke kantor, kuliah, ke pasar dan entah kemana lagi yang jelas sekarang aku melangkahkan kaki untuk pergi ke sekolah. Gerbang sekolah sudah mulai tampak. Hatiku agak tenang. Seulas senyum mekar dibibirku. Namun, saatku langkahkan kaki untuk masuk kelas tiba-tiba ada suara memanggil namaku. “ Neng Eka….” kubalikkan badan. Ternyata pak Eko satpam sekolah. Dengan raut wajah agak heran kuampiri pak Eko yang sedang berlari tergopoh-gopoh. “Ada pak?” nada keheranan masih tersirat di pertanyaanku. Tidak biasanya pak Eko memilki urusan denganku. “ Ad titipan neng.” Sambil menyodorkan kotak berbungkus Koran kemarin. “ hah” teriakku kaget . “Apa itu?” “ Tidak pak” “ buang saja “ dengan cepat aku pergi dari pak Eko. Dan aku masih sempat melihat pak Eko mengejarku ke dalam kelas. “ Neng ini titipan dari Mbok Ida” ujarnya. Oh namanya Mbok Ida. Wanita tua yang menakutkan itu. Bisikku dalam hati.“ Ini adalah barang yang neng Eka cari katanya Mbok Ida “ ujarnya lagi. Hah, aku terheran . Barang yang aku cari. Akhirnya aku penasaran juga. Ku raih kotak itu. Ku amat-amati tapi tak ada yang istimewa. Hanya kotak yang berbungkus Koran sudah lusuh pula. Perlahan ku buka kotak tersebut. Kenapa hatiku berdebar. Dan ternyata “ Ya Alloh ini adalah Al-qur’an kesayanganku “ teriakku kegirangan. “ Ini kenangan dari eyang” ucapku lagi. “Terimakasih pak Eko” dengan wajah berseri aku menciumi al-quran itu. Alqur’an ini adalah barang berharga bagiku. Satu-satunya barang kesayangan Eyang yang diberikan kepada cucu kesyangannya yaitu aku. Dan dua bulan yang lalu hilang entah kemana. Dan sekarang kembali lagi. Hatiku sangat senang sekali.” Sekali lagi matur nuwun pak Eko” ucapku ramah sekali dengan senyum yang terus mengembang karena bahagia.“Bukan neng” kata pak Eko tiba-tiba. “ Bukan bapak yang menemukan” “ Tapi mbok Ida” Ucap pak Eko. Deg… ya Alloh. Mbok Ida? Wanita tua kusam itu. Tiba-tiba saja wajahnya dengan jelas terlintas di otakku. Malu sekali aku rasanya…Tak terasa airmataku mengalir. Teringat betapa aku sudah berburuk sangka kepada wanita tua itu yang ternyata bernama Mbok Ida. “ Mbok Ida menemukan itu tertinggal di bangku samping sekolah neng”. “ Tapi mbok Idak ndak tahu sapa yang punya” tutur pak Eko ramah dengan logat jawa yang khas. “ Mbok Ida pernah lihat neng Eka tertidur di bangku samping, beliaunya mengamati neng yang sedang tidur ternyata sama dengan foto yang ada di dalam alquran itu” ulas pak Eko menceritakan perjuangan Mbok Ida untuk mengembalikan alquranku. Hatiku rasanya semakin sakit dan airmataku tak terhenti untuk mengeluarkan airmata. Ya Alloh….. penyelasan itu tiba-tiba hadir.
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera berhambur keluar. Aku bersiap untuk mencari wanita tua itu. Mbok Ida. Kulihat jalanan masih ramai dengan teman-teman yang aru saja pulang sekolah. Kulihat beberapa pedagang kakilima sedang ramai melayani anak-anak sekolah yang sedang antri membeli. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di bangku samping sekolah. Kuamati sekeliling dsekolah. Namun tak kulihat sosok Mbok Ida. Kemana gerangan beliau. Detik nberputar hingga terkumpul menjadi jam. Namun tak juga kulihat sosok Mbok Ida. Cuaca tidak mendukung. Kutengadah kelangit awan sudah mulai menhitam. Kusegerakan untuk pulang….
Keesokan harinya pencarian Mbok ida kulanjutkan. Namun hasilnya sama. NIHIL…

Tiga hari sudah aku menunggu di bangku samping sekolah. Namun tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Padahal aku sudah menyiapkan sebukngkus kado untuk Mbok Ida. Tidak terlalu istimewa tapi aku berharap bermanfaat. Sepasang sandal jepit. Karena beberapa kali aku melihat mbok Ida tidak pernah memakai alas kaki. Tapi harapan untuk bertemu mbok ida semakin tipis. Sudah beberapa hari aku menunggu namun tak kunjung melihatnya, kususuri jalan dimana aku pernah Mbok Ida sapapun tak kutemukan sosoknya.
“ Pak Eko” sapaku ramah pagi itu. “ Ada apa neng Eka” tak kalah ramah pak Eko menyapaku. “ Aku mau Tanya pak Eko” ucapku merajuk .” Tanya apa?” sahut pak eko dengan tidak lepas dari aktivitasnya mengamati anak-anak sekolah yang mulai masuk kelas. “ Pak…”ucapku agak gugup. Akhirnya untuk beberapa menit terdiam aku mulai memberanikan untuk bertanya.” Pak Eko, kenal Mbok Ida?” ahhhh lega rasanya bisa mengeluarkan kalimat itu.” Kenal” jawab pak Eko singkat tapi tetap ramah, wah ada harapan untuk menemukan mbok Ida lagi. “ Pak Eko tahu rumah mbok Ida?”tanyaku tak kuasa menahan rasa ingin tahu. Akhirnya pak Eko memandangku dengan serius menanggapi pertanyaanku. “ Hah ?” mataku terbelalak menanggapi responnya. “ Mbok Ida sudah kembali ke rahmatulloh neng Eka” dengan wajah sedih pak Eko mengatakanya. Deg….

Terasa melayang, perasaan tak percaya. Bercampur jadi satu. Ya Tuhan…
“Setelah memberikan bungkusan itu malamnya Mbok Ida meninggal dalam posisi tubuh masih berbalut mukena”. Airmata mulai menetes dipelupuk mata pak Eko. “ Mbok Ida itu baik neng” ditengak isak tangisnya pak Eko tetap bersemangat bercerita. “ Beliau itu yang pertama kali menampung bapak ketika menginjakkan kaki di bumi Jakarta ini.” “Beliau itulah yang mengajarkan tentang apa itu arti sebuah syukur kepada bapak”. “ Beliau itu memang miskin tapi…..” kalimat pak Eko terhenti. “ Tapi beliau itu selalu tak lupa untuk setiap harinya memberikan makan anak yatim piatu dekat rumah bapak sana”. Isak tangis pak Eko semakin menjadi…Rasanya aku tak bisa lagi mengenali alam sekitarku…
Wajah mbok Ida dengan begitu jelas melayang di otakku. Teringat bagaimana pertama kali beliau menyapa, senyuman ikhlasnya..

Namun sekarang tak bisa aku temui wajah itu. Kantung plastik hitam yang melekat dipundaknya…
Penyelasan itu kini makin bertambah. Tak sempat aku mengucapkan terimakasih . Engkau telah mmanggilnya Ya Robb. . .
Belum sempat diri ini meminta maaf karena telah berburuk sangka. . .
Keesokan harinya, aku pergi ke makam Mbok Ida. Ku doakan beliau sebagai permintaan maaf dan terima kasihku. Semoga Alloh melihat apa yang aku lakukan ini ikhlas. Kupeluk Al-qur’an yang ditemukan oleh Mbok Ida.

Sejak itu aku mulai memahami bahwa kita janganlah menilai seseorang dari penampilan. Baju compang-camping atau wajah buruk rupa tidak bisa menjamin bahwa buruk pula hatinya. Namun bisa jadi sebaliknya. Hatinya begitu mulia, meskipun kondisi fisiknya tidak sempurna. . .
Kebesaran jiwa mbk Ida mengajarkan aku tentang sebuah kedewasaan. Terimakasih Tuhan, Kau telah mengirimkan seorang wanita hebat seperti Mbok Ida….

-3ha-
Hamimeha
Hamimeha
Bismillah, lahir di Pulau Garam, tumbuh di kota Santri, menetap di kota Pahlawan., Saat ini suka berbagi tentang kepenulisan-keseharian-dan parenting., ● Pendidik, ● Penulis 11 buku antologi sejak 2018, ● Kontributor di beberapa media online lokal dan nasional sejak 2019, ● Praktisi read a loud dan berkisah, ● Memenangkan beberapa kompetisi menulis dan berkisah, ● Narasumber di beberapa komunitas tentang parenting dan literasi. ●
Lebih baru Terlama

Related Posts

Posting Komentar